Pages

Tuesday, 22 April 2025

shuttle di ujung senja

Orientasi

Angin musim semi mulai hangat menyapu lorong-lorong SMA Eimei di Prefektur Kanagawa. Bunga sakura bermekaran, namun Yusa, siswa kelas dua yang tinggi tubuhnya 17 cm, tak pernah terlalu memperhatikannya. Fokusnya hanya satu: bulu tangkis.


Yusa pindah dari Indonesia ke Jepang di akhir SMP. Ayahnya, mantan atlet nasional bulu tangkis Indonesia, telah meninggal dunia saat Yusa masih duduk di bangku kelas delapan. Sejak saat itu, Yusa berjanji pada dirinya sendiri untuk melanjutkan warisan sang ayah. Namun, hidup sebagai siswa asing di Jepang tidak semudah membalik telapak tangan. Bahasa, budaya, hingga pergaulan menjadi tantangan harian.


Di SMA Eimei, ia bergabung dengan klub bulu tangkis. Ia bukan yang paling populer, namun dedikasinya tak tertandingi. Setiap hari, ia datang lebih awal dari anggota lain, menyapu lantai aula, dan berlatih footwork sebelum latihan dimulai. Banyak yang tak memperhatikan, tapi Yusa tidak peduli. Ia percaya, kerja keras akan berbicara lebih nyaring daripada kata-kata.


Komplikasi

Menjelang turnamen antar SMA se-Kanagawa, pelatih mengumumkan bahwa dua pemain terbaik akan mewakili sekolah. Posisi pertama tentu saja milik Kazuya Arisawa, kapten klub dan peringkat dua prefektur. Namun posisi kedua jadi topik panas—diperebutkan oleh Yusa dan Haruki Matsuda.


Haruki bukan hanya jago bermain, tapi juga anak dari pelatih klub, Matsuda-sensei. Banyak yang percaya kursi itu sudah pasti untuk Haruki, tak peduli seberapa keras Yusa berlatih.


Desas-desus soal ketidakadilan mulai terdengar. Teman seklub Yusa mulai menjauh, tak ingin terlibat. Bahkan beberapa pelatih dari SMA lain mencibir Eimei sebagai sekolah dengan “tim nepotis.” Tapi Yusa tidak gentar. Ia ingat betul ucapan ayahnya, “Jangan lawan orang, Yus. Lawan dirimu sendiri.”


Klimaks

Pelatih akhirnya mengadakan pertandingan seleksi terbuka. Aula utama dipenuhi murid, guru, bahkan alumni. Haruki tampil dengan percaya diri, disambut sorakan dari teman-teman sekelasnya. Yusa mengenakan seragam klub yang mulai pudar warnanya, tapi langkahnya mantap.


Set pertama dimenangkan Haruki dengan cepat. Tekniknya bersih, gerakannya elegan. Tapi Yusa diam-diam menganalisis. Ia melihat celah: Haruki kurang stabil di sisi kiri belakang.


Set kedua, Yusa mulai menyerang titik itu. Bola demi bola, poin demi poin, dan set pun menjadi miliknya.


Set ketiga seperti medan perang. Keringat mengucur, kaki gemetar, dan nafas memburu. Skor imbang 19-19. Haruki melakukan smash keras—Yusa menebak arah dan membalas dengan drive tajam. 20-19. Satu poin lagi.


Shuttlecock terangkat. Yusa melompat. Dalam sepersekian detik, dia memukul smash keras ke sudut kiri belakang, dan… bola jatuh sempurna. Poin!


Resolusi

Sorak-sorai meledak. Bahkan Kazuya berdiri dan bertepuk tangan. Matsuda-sensei terdiam sejenak, lalu mendekat dan berkata, “Kau luar biasa, Yusa. Maaf telah meragukanmu.”


Haruki, yang terduduk di lantai, tersenyum pahit. “Selamat. Kau pantas mendapatkannya,” katanya sambil menjabat tangan Yusa.


Untuk pertama kalinya, Yusa merasa seperti benar-benar bagian dari SMA Eimei. Bukan hanya siswa pindahan, tapi seseorang yang diakui karena usahanya.


Koda

Dua bulan kemudian, tim SMA Eimei finis sebagai semifinalis tingkat prefektur. Bagi Yusa, itu baru permulaan. Ia kini rutin mendapat undangan untuk pelatihan bulu tangkis regional. Di asrama, ia menatap langit malam sambil memegang liontin kecil berisi foto ayahnya.


“Ayah, Yusa sudah tidak bersembunyi di balik bayanganmu lagi,” bisiknya. “Sekarang, aku akan membuat bayanganku sendiri, yang lebih hebat tentunya!.”









No comments:

Post a Comment

pertanyaan uraian